top of page

Perbandingan Ekonomi Politik Indonesia-Jepang dan Gagasan Nusantaranomics

Updated: Sep 29, 2018

TODAI Talk Special, 20 April 2018

Prof. Didin Damanhuri

Guru Besar Fakultas Ekonomi & Manajemen IPB dan Staf Ahli Lemhannas

Oleh: Muhammad Azka Gulsyan


Jepang secara unik memiliki sistem ekonomi-politik yang berbeda dari sesama negara-negara maju lainnya, dalam hal ini negara-negara barat. Meski maju dalam hampir pada segala bidang, mereka bisa mengembangkan kemajuan dengan sistem yang sesuai dengan karakter bangsanya sendiri, tidak sekedar mengikuti sepenuhnya apa yang datang dari Barat. Hal inilah, yang menurut Prof. Didin Damanhuri, Guru Besar FEM IPB dan Staf Ahli Lemhannas, harus kita pelajari bersama, agar kita bangsa Indonesia juga mampu untuk mencapai kemajuan ekonomi-politik tanpa meninggalkan jati diri kita sebagai bangsa.

Prof. Dr Didin Damanhuri (tengah) menyampaikan materi diskusi

Prof. Didin memulai diskusi dengan menjelaskan sejarah singkat bagaimana dimulainya modernisasi di tanah Eropa. Modernisasi di sana sesungguhnya dimulai dari sebuah gerakan pemisahan agama, dalam konteks Eropa adalah gereja, dari pemikiran rasional dan kehidupan publik. Inilah sebuah ‘revolusi teologis’ yang melandasi kemajuan modernisasi di Eropa. Gagasan ini tersebar di wilayah Eropa terutama di saat Napoleon Bonaparte mengadopsinya pada wilayah yang dia kuasai, pada abad ke-18. Paham sekularisme ini yang mendasari perkembangan pemikiran rasional yang modern di tanah Eropa.


Lebih lanjut, revolusi teologis ini menghasilkan dua revolusi berikutnya: revolusi industri dan revolusi kapitalisme. Menghasilkan mazhab atau sistem ekonomi-politik baru yang telah membuat negara-negara barat berkembang pesat dalam perekonomian dan perkembangan ilmu pengetahuan-teknologi melampaui bangsa-bangsa lain. Tetapi ternyata, sistem ini menghasilkan efek negatif: pemiskinan terhadap mereka-mereka yang tertinggal dan tidak dapat bersaing. Responsnya adalah lahirnya berbagai pemikiran kritis atas sistem tersebut. J.J. Rouseau menggagas kritik atas kapitalisme-industri melalui sosialisme demokrasi. Tetapi, terdapat perlawanan yang jauh lebih keras: komunisme. Gagasan dari Karl Marx ini menghendaki revolusi pertentangan kelas di mana kelas pekerja melawan para pemilik modal untuk menciptakan masyarakat tanpa kelas. Singkat cerita, ungkap Prof. Didin, inilah hasil dari model kemajuan atau modernisasi ala Barat yang mendasar kepada pemisahan agama dari kehidupan publik, atau sekularisme.


Sesi diskusi diramaikan dengan sejumlah pertayaan dari para audience

Berpindah kita kepada Jepang, Prof. Didin kemudian menjelaskan bagaimana bangsa ini mencapai kemajuan. Satu hal yang unik dari Jepang dibanding bangsa-bangsa Asia lainnya adalah, Jepang tidak pernah dijajah. Jepang melakukan modernisasi atas inisiatif kaisar Meiji, dan melakukan apa yang dinamakan Restorasi Meiji. Dengan spirit Bushido mereka mentransformasi bangsa mereka untuk menjadi modern, dengan belajar dari kemajuan-kemajuan yang telah ada di bangsa-bangsa barat.


Tetapi uniknya, mereka menghasilkan output yang berbeda dari Barat. Karena saat melakukan modernisasi, agama justru di-revitalisasi. Dampaknya adalah agama dan kebudayaan Sinto mewarnai modernisasi yang terjadi di Jepang. Dalam bermasyarakat, konsensus, integralitas, dan nilai-nilai kolektivitas menjadi landasannya; berbeda dengan individualitas pada masyarakat modern Barat. Dalam politik, mereka menggunakan model konsensus, ketimbang kompetisi antar kelompok seperti pada sistem demokrasi liberal Barat. Dalam spirit kerja, loyalitas kepada perusahaan “sampai mati” menjadi sebuah sikap. Semua itu menjadi landasan untuk melakukan reverse innovation dalam mengejar ketertinggalan teknologi. Hasilnya adalah bangsa Jepang yang dapat kita lihat hari ini: maju sejajar dengan negara-negara barat yang telah maju lebih dahulu, tetapi dengan menggunakan sistem ekonomi-politik tersendiri yang sesuai dengan nilai-nilai bangsanya.

Perbedaan jalur (path) kemajuan antara bangsa-bangsa barat dan Jepang inilah oleh Prof. Didin dijelaskan sebagai Teori Heterodoks. Bahwa masing-masing mazhab atau sistem ekonomi-politik memiliki historisitas masing-masing. Bangsa-bangsa barat yang berdasarkan kepada rasionalisme tanpa agama (sekularisme) akan menghasilkan mazhab kapitalisme model Barat dan komunisme-sosialisme sebagai responsnya. Sedangkan, Jepang yang berdasar kepada Sinto (dan Budha) akan menghasilkan mazhab atau sistem dengan ciri tersendiri pula. Lantas, bagaimana dengan Indonesia?

Prof. Didin menggagas, belajar dari apa yang dipaparkan di atas, Indonesia yang memiliki historisitas tersendiri harus dapat mengembangkan mazhab ekonomi-politik tersendiri. Yaitu, sebuah sistem yang berbeda dari negara-negara barat maupun Jepang. Untuk menjawab tantangan tersebut, ide besar yang digagas oleh Prof. Didin adalah: Nusantaranomics.


Ide dasar dari Nusantaranomics adalah sebuah sistem ekonomi-politik yang berlandaskan ekonomi lokal, dengan praktek-praktek dan nilai-nilai lokal yang ada, yang mungkin tidak rasional dalam kaca mata ekonomi dominan (baca: kapitalisme) saat ini, tetapi terbukti efektif. Telah terdapat berbagai contoh yang dikumpulkan oleh Prof. Didin dan sejawatnya, mulai dari praktik ekonomi lokal di Bugis, Sunda, Minang, dan lain-lainnya yang terbukti dapat terus berkembang tanpa pengaruh dari ekonomi global. Jadi inilah sebuah mazhab ekonomi-politik Indonesia yang diangkat dari praktek-praktek dan nilai-nilai nyata yang bekerja dalam masyarakat, yang kemudian diformalkan menjadi sebuah mazhab—sebagaimana dahulu Bung Karno dan anggota BPUPKI lainnya merumuskan Pancasila. Sehingga, gagas Prof. Didin, Nusantaranomics inilah Ekonomi Pancasila yang sesungguhnya.


Diskusi diakhiri dengan makan malam dan foto bersama di Gotenshita

*Prof. Didin saat ini tengah menulis buku mengenai gagasannya ini. Mari kita nantikan untuk memahami keseluruhan gagasan Nusantaranomics ini!


Video dapat dilihat di : Youtobe ppi.todai



1,115 views0 comments

Recent Posts

See All
bottom of page