top of page

GAMBARAN KESEHATAN MENTAL MAHASISWA INDONESIA DI JEPANG

Updated: Dec 13, 2020

GAMBARAN KESEHATAN MENTAL MAHASISWA INDONESIA

DI JEPANG SECARA UMUM DAN DI THE UNIVERSITY OF TOKYO SECARA KHUSUS


Ditulis oleh segenap pengurus PPI Todai

Tokyo, Desember 2020



Berkuliah di Luar Negeri sebagai sebuah Tren


Pada fase awal, kuliah di luar negeri memang terlihat sangat menyenangkan bagi kita yang berada di tanah air. Perasaan senang, tidak menyangka, dan bersyukur, mendominasi calon mahasiswa yang akan studi di luar Indonesia. Fase ini dikenal dengan fase kegembiraan (excitement), di mana kita merasakan pengalaman yang tidak bisa diungkapkan dengan kata-kata karena mendapatkan kesempatan untuk berkuliah di luar negeri dan akan segera menemukan hal-hal baru, seperti lingkungan, teman, budaya, dan hal lain yang selama ini belum pernah ditemukan di Indonesia. “Pengalaman unik” inilah yang menjadi salah satu daya tarik bersekolah di luar negeri, selain mendapatkan kualitas pendidikan dan peluang karir yang lebih menjanjikan di masa depan, yang menjadi kebanggaan dan impian banyak orang.


Pada tahun 2017, data dari UNESCO menunjukkan adanya peningkatan jumlah siswa internasional di dunia. Hal ini menunjukkan bahwa studi keluar negeri merupakan pilihan yang diminati oleh generasi muda mendatang, terutama di Jepang. Namun, pilihan berkuliah ke Jepang mengalami penurunan seiring dengan terbatasnya pilihan universitas. Contohnya, pada beasiswa LPDP, di mana The University of Tokyo tidak tercantum sebagai salah satu pilihan universitas untuk periode 2021.



Rendahnya Tingkat Kesadaran (Awareness) Calon Mahasiswa terhadap Lingkungan Baru


Kebanyakan mahasiswa merasakan fase excitement pada 1-2 bulan pertama. Pada bulan berikutnya mereka mulai menghadapi realita bahwa berkuliah di luar negeri bukan hanya bersenang-senang dan update photo. Mereka pada umumnya baru menyadari harus masuk pada fase belajar dan beradaptasi. Mahasiswa di luar negeri harus bisa beradaptasi dengan berbagai kondisi dan situasi kuliah, mulai dari pengajar, bahasa, tugas yang menumpuk dan begadang, serta kemungkinan untuk tidak pulang karena harus berada di lab.


Untuk bisa bertahan, mereka harus berjuang menyesuaikan diri dengan culture shock, seperti rasa kangen dengan masakan Indonesia, cuaca di Indonesia, atau beberapa hal lain tentang tanah air yang tidak dapat ditemukan di luar negeri. Pada fase yang disebut fase struggle ini, mereka mulai merasakan homesick khususnya dengan budaya Indonesia yang lebih bersifat kolektif dan tidak individualis. Adaptasi terhadap musim dan cuaca juga tidak selamanya menyenangkan. Belum lagi manajemen waktu, khususnya bagi mahasiswa yang aktif di organisasi luar kampus atau bekerja paruh waktu, sehingga tidak dapat membagi waktu dengan perkuliahan yang pada akhirnya memunculkan beberapa kondisi seperti cemas, tidak bisa tidur, stres, dan mungkin berakhir pada depresi. Survei yang dilakukan oleh PPIJ pada tahun 2020 (hasil ditampilkan dalam Grafik 1) menunjukkan bahwa terdapat 38,8% responden mahasiswa telah kehilangan motivasi, yang mengakibatkan mahasiswa mengurangi interaksi sosial, berhenti mencoba hal yang baru, dan menghindari hal yang menantang. Sebanyak 49,3% responden mahasiswa juga merasa kemampuan dirinya tidak cukup sehingga mahasiswa cenderung mudah menyerah, tidak ada tujuan, dan akhirnya mengalami depresi.


Grafik 1. Penyebab masalah akademis mahasiswa Indonesia di Jepang



Stigma Keliru terhadap Kesehatan Mental


Sehat tidak hanya secara fisik, namun juga mental, spiritual, dan sosial yang memungkinkan setiap orang untuk hidup produktif (UU Nomor 36 tahun 2009 tentang Kesehatan). Sehat mental adalah kondisi yang disadari individu yang di dalamnya terdapat kemampuan untuk mengelola stres kehidupan yang wajar untuk secara produktif dan menghasilkan serta berperan serta di komunitasnya (WHO, 2003). Seseorang tidak akan pernah lepas dari stres, tetapi individu yang sehat dapat mengelola stres dengan wajar dan bisa melakukan sesuatu yang produktif dan tetap berperan, bukan sebaliknya dengan menarik diri.


Sayangnya, masih ada beberapa kesalahan stigma sosial terhadap kesehatan mental. Sehat mental dianggap sebagai suatu yang statis dan hanya terkait dengan gangguan jiwa saja. Namun sebenarnya, kesehatan mental tidak hanya bicara tentang gangguan saja, tetapi merupakan suatu garis kontinum. Keadaan mental tidak statis pada satu titik, di mana seseorang akan selalu merasakan kebahagiaan. Kesehatan mental dapat bergerak ke kanan dan ke kiri seperti ditunjukkan pada Gambar 1. Orang pada titik sebelah kanan pada saat ini mungkin sedang bahagia karena baru saja mendapatkan rezeki, sedangkan orang yang pada sisi sebelah kiri sedang berada pada fase stres atau depresi, bahkan pada fase membutuhkan pertolongan profesional.

Gambar 1. Tingkat kesehatan mental


Bagi kebanyakan orang awam, kesehatan mental tidak sepenting kesehatan fisik. Namun, pada kenyataannya, kesehatan mental berkaitan dengan kondisi fisik. Secara fisik, terkadang kita sesekali dapat mengalami flu atau sakit kepala. Begitu pula dengan kesehatan mental, pada kondisi tertentu mahasiswa dapat mengalami kejadian yang kurang mengenakkan, seperti hasil ujian yang rendah, paper yang selalu direvisi, dan lain sebagainya. Kejadian tersebut dapat mengakibatkan keluhan sakit kepala, demam, kaku leher, dll. Kelelahan juga dapat menjadikan seseorang mudah untuk menyerah, emosional, dan stres.


PPI Todai melakukan survei terbatas terhadap beberapa mahasiswanya pada November 2020, yang hasilnya ditampilkan pada Tabel 1. Hasilnya, mahasiswa Indonesia yang disurvei berada pada tingkat stres sedang dan tinggi. Namun, fakta ini tidak langsung memberi kesimpulan bahwa responden mengalami gangguan kejiwaan, melainkan lebih kepada deteksi kondisi teman-teman, khususnya menjelang mid-term. PPI Todai masih perlu menyarankan monitoring secara rutin oleh masing-masing individu apakah kondisi stres tersebut berkelanjutan lebih dari beberapa minggu, dan apakah ada keluhan secara fisik. Demikian pula dengan komunitas atau peer support yang seyogyanya dapat mengobservasi apakah ada perubahan perilaku atau kondisi yang tidak bisa dikontrol lagi, sehingga seseorang dapat segera mendapatkan bantuan profesional.


Tabel 1. Survey terbatas lingkup PPI Todai terkait tingkat stress akademik dan loneliness


Self Handling Masih Lebih Dominan Dibandingkan Keinginan Mahasiswa Dalam Mencari Peer Support


Masih banyak persepsi yang melekat dalam budaya sosial bahwa tindakan meminta bantuan ke orang lain merupakan sikap yang menunjukkan pribadi yang lemah. Stigma ini lebih melekat kepada laki-laki. Percobaan bunuh diri memang lebih banyak dialami oleh perempuan, namun kasus bunuh diri lebih banyak menimpa laki-laki pada umumnya. Bercerita ke orang lain, menangis atau memperlihatkan kelemahan di depan orang lain masih merupakan sebuah hal yang tabu. Di Indonesia, adanya ketakutan akan penilaian orang lain masih melekat sebagai identitas sosial yang menyebabkan seseorang cenderung menyimpan masalahnya sendiri. Identitas sosial ini menyebabkan mahasiswa internasional cenderung untuk mengatasi masalah psikologisnya sendiri dengan mencari informasi di internet. Namun, apabila kita melakukan pencarian informasi di internet dengan kata kunci “bunuh diri”, informasi yang tersedia justru cenderung memberikan ide mengenai bagaimana cara melakukan tindakan bunuh diri dibandingkan pemberian sugesti positif atau rekomendasi penanganannya. Mereka juga seringkali terjebak kedalam self diagnose yang mengira dirinya memiliki gangguan jiwa serius. Oleh sebab itu, literasi dari internet tidak dapat dijadikan sumber yang handal bagi mereka yang memerlukan pertolongan kesehatan mental. Dalam survei bebas di media sosial PPI Todai (lihat Tabel 2), kami mendapatkan respon bahwa masih banyak individu yang berpikir bahwa dirinya tidak perlu atau tidak dapat meminta bantuan orang lain.


Tabel 2. Survei di media sosial PPI Todai terkait kemampuan untuk mencari peer support


Keterbatasan Pertolongan dari Lembaga Konseling di Universitas


Selain rendahnya keinginan untuk meminta bantuan, lembaga konseling yang disediakan oleh universitas seringkali kurang memenuhi ekspektasi dari sisi persamaan bahasa, nilai, budaya, dan kebiasaan. Perbedaan ini menyebabkan mahasiswa kurang dapat mengungkapkan perasaannya dengan lebih nyaman dan jelas. Selain itu, ada juga alasan bahwa mahasiswa kurang memahami prosedur dalam mengakses layanan tersebut, atau adanya keterbatasan jumlah tenaga profesional dibandingkan dengan jumlah yang mendaftar. Dengan berbagai alasan yang ada, mahasiswa kemudian mengurungkan niatnya untuk bertemu dengan psikolog. Selama pandemi COVID-19, akses layanan pun menjadi semakin terbatas karena layanan tidak dapat dilakukan melalui tatap muka secara langsung, melainkan harus melalui Zoom meeting.



Alternatif Pertolongan Diri dalam Kesehatan Mental


Ketika menghadapi permasalahan, terkadang kita masih merasa ragu untuk mencari atau sulit mendapatkan bantuan karena berbagai alasan. Lantas, apa yang bisa dilakukan untuk mengurai permasalahan ini? Salah satunya adalah dengan melakukan self help. Self help hadir untuk membantu kita menata kembali pikiran dan perasaan agar merasa lebih baik. Bukan untuk menyelesaikan masalah kehidupan yang rumit dan memiliki muatan emosional yang besar. Ada beberapa metode self help, di antaranya mindfulness (sadar penuh atau fokus pada momen saat ini) dan menyusun jurnal emosi/log dinamika kehidupan (mencatat kondisi emosi kita setiap hari).


a. Mindfulness

Mindfulness dilakukan tidak hanya dengan meditasi. Mindfulness bisa dilakukan dengan cara menghayati setiap momen yang ada pada hidup kita pada saat ini, membiarkan yang terjadi besok, dan melupakan apa yang telah terjadi kemarin. Ini dilakukan untuk mencegah munculnya kecemasan yang dapat muncul karena kondisi yang tidak fokus pada saat ini, seperti memikirkan nasib setelah kelulusan. Mindfulness dapat dilakukan secara sederhana dengan menghayati setiap kunyahan ketika makan, menghayati setiap tetesan air saat minum, dan berbagai kegiatan lainnya. Dengan fokus pada momen saat ini, kita akan lebih mudah memaknai hidup dan mampu bersikap positif, serta bersyukur pada keadaan yang sedang dihadapi sekarang, baik suka maupun duka.


b. Log dinamika kehidupan

Bentuk log ini seperti diari, namun log dinamika kehidupan fokus pada muatan emosional yang kita miliki pada saat itu atau pada hari ini, seperti sedih, senang, atau kesal terhadap suatu kejadian. Menulis dapat menjadi katarsis dan membantu kita untuk mengungkapkan apa yang ada dalam pikiran atau hati. Kita juga dapat mereview kembali apa yang terjadi dan belajar dari masa lalu. Catatan ini akan mengingatkan kita bagaimana cara kita mendapatkan perasaan nyaman. Kita juga dapat mereview ulang kegiatan-kegiatan khusus dan sederhana yang memiliki muatan emosi positif di masa lalu yang dapat membantu mengurangi rasa sedih saat ini.


c. Ekosistem Peer Support

Karena self help bukan untuk menyelesaikan masalah kehidupan yang rumit serta yang memiliki muatan emosional besar, maka bantuan dari ekosistem peer support tetap dibutuhkan. Hal ini dikarenakan, muatan emosi yang besar menyebabkan kondisi bias sehingga penyelesaian pun tidak akan objektif. Ekosistem peer support tersebut dapat dibentuk melalui komunitas PPI dengan membangun hubungan antarmanusia melalui cara yang nyaman dan penuh rasa kepedulian antarsesama yang memiliki keahlian dasar dalam melakukan psychological first aid. Hal ini dapat dilakukan dengan 3L, yaitu look (melihat dan memperhatikan teman-teman yang memiliki masalah), listen (mendengar keluh kesah mereka), dan link (menghubungkan mereka dengan bantuan yang mereka butuhkan).


Rekomendasi dari PPI Todai

  1. Perlunya pembekalan materi kesehatan mental sebelum keberangkatan bagi calon mahasiswa. Beberapa pemberi beasiswa mungkin telah menyediakan pembekalan terhadap penerima beasiswa, namun masih banyak penyedia beasiswa yang belum memasukkannya dalam program persiapan beasiswa. Begitu pula dengan mahasiswa swadana yang harus membekali informasi secara mandiri. Penyediaan informasi dan sosialisasi intensif dan masif dapat membantu untuk mengelola ekspektasi dan kebutuhan emosional secara pribadi. Hal ini juga termasuk kemampuan calon mahasiswa untuk mengelola keuangan pribadi. Adapun, masalah-masalah perencanaan keuangan pribadi telah kami bahas pada materi Todai Talk sebelumnya.

  2. Perlu diadakannya pelatihan self help secara reguler, khususnya terkait dengan Mindfulness dan penyusunan Log Dinamika Kehidupan sebagai metode katarsis.

  3. Menyebarkan akses informasi terkait lembaga konseling berbahasa Indonesia yang tersedia secara offline di Jepang atau secara online di Indonesia. Dan bila memungkinkan, menyediakan layanan tersebut di berbagai daerah di Jepang.

  4. Perlu dilakukan pelatihan terkait keahlian dasar dalam melakukan psychological first aid bagi seluruh pengurus PPI di Jepang sebagai pembentukan ekosistem mental health yang lebih baik.




351 views0 comments

Recent Posts

See All
bottom of page